Kebebasan Pers Bukan Alat Fitnah: Warga Subulussalam Laporkan Oknum Wartawan Ramona ke Polisi

LEUSER NEWS

- Redaksi

Sabtu, 19 Juli 2025 - 01:34 WIB

5030 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Subulussalam – Aksi razia yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Subulussalam pada Rabu malam, 16 Juli 2025, terhadap sejumlah warung kopi di Jalan Nyak Adam Kamil, berbuntut panjang dan penuh amarah. Tuduhan sembrono, berita tanpa konfirmasi, hingga publikasi foto tanpa izin kini menjadi bara dalam sekam. Di balik semua itu, nama Suriani Kombih, pemilik warung kopi yang menjadi sasaran operasi, terlanjur dibakar stigma sosial yang belum tentu benar.

Operasi Satpol PP yang dipimpin Abdul Malik secara terang-terangan menyebut warung milik Suriani sebagai “tempat maksiat”. Tanpa dasar, tanpa bukti, tanpa surat resmi. Pernyataan tersebut dilontarkan di depan umum, disaksikan pengunjung, dan langsung mengundang efek domino: warga kaget, pelanggan bubar, pemilik usaha terpukul. Tuduhan yang mestinya hanya boleh dijatuhkan lewat proses hukum yang sah, kini dilontarkan seolah status moral seseorang bisa ditentukan oleh mikrofon dan seragam.

“Kami sangat menyayangkan tindakan dan ucapan yang tidak berdasar dari pihak Satpol PP. Ini sangat merugikan nama baik kami sebagai pelaku usaha kecil,” ujar Suriani Kombih dengan suara gemetar menahan marah.

ADVERTISEMENT

Leuser News - Dari Leuser, Untuk Negeri

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun kemarahan masyarakat belum berhenti di sana. Beberapa jam setelah razia, muncul sebuah berita yang memperkeruh situasi. Ditulis oleh Ramona, oknum yang mengaku wartawan, artikel itu beredar luas di berbagai grup WhatsApp dan media sosial. Dengan judul yang menyesatkan, isi berita itu memperkuat tudingan terhadap Suriani, lengkap dengan foto-foto yang diambil sepihak dari media sosial.

Tidak ada konfirmasi. Tidak ada wawancara. Tidak ada cek dan ricek. Yang ada hanya narasi tunggal yang menyudutkan dan mempermalukan. Dalam standar jurnalistik, tindakan ini bukan hanya pelanggaran etik, tapi bisa masuk kategori pidana.

“Kami akan menempuh jalur hukum. Bukti-bukti digital sudah kami kumpulkan: berita, penyebaran, tangkapan layar, dan distribusinya. Ini akan kami laporkan,” kata Erwin Kombih, adik kandung Suriani.

Ia menambahkan, tindakan Ramona diduga telah melanggar Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008, yang menyebutkan bahwa:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dapat dipidana.”

Selain itu, pemuatan foto tanpa izin dari akun media sosial pribadi juga dapat melanggar Pasal 26 ayat (1) UU ITE, yang menegaskan bahwa setiap penggunaan data pribadi seseorang harus melalui persetujuan yang bersangkutan. Dalam konteks ini, foto milik keluarga Suriani yang digunakan tanpa izin adalah bentuk pelanggaran hak privasi digital.

Tak cukup sampai di situ, perilaku Ramona yang mengaku sebagai jurnalis tetapi tidak menjalankan prosedur kerja jurnalistik—seperti konfirmasi, klarifikasi, dan keberimbangan—telah mencederai prinsip dasar profesi wartawan sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Dewan Pers, khususnya Pasal 1 dan Pasal 3, yang mengharuskan jurnalis menyampaikan informasi secara akurat dan berimbang serta wajib melakukan verifikasi terhadap informasi sebelum dipublikasikan.

“Dia menyebarkan berita fitnah. Dia bukan wartawan profesional. Dia tidak pernah datang ke lokasi, tidak pernah bertanya ke kami. Tapi tiba-tiba menulis dan mempublikasikan begitu saja. Ini penghinaan,” tegas Erwin.

Beberapa warga yang berada di lokasi razia juga mempertanyakan metode penindakan yang digunakan Satpol PP. Tidak ada surat tugas yang ditunjukkan. Tidak ada prosedur. Hanya datang, tunjuk, tuduh, lalu meninggalkan luka sosial yang menganga. Jika benar tidak ada dasar hukum dalam pelabelan “tempat maksiat”, maka ucapan Abdul Malik bisa masuk kategori penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 421 KUHP, tentang penyalahgunaan jabatan yang merugikan warga negara.

“Kalau mereka punya data atau laporan, seharusnya diproses hukum. Bukan asal bicara dan mempermalukan orang di depan umum. Itu bukan penertiban, itu penghinaan,” ujar seorang saksi mata yang enggan disebut namanya.

Tekanan publik pun semakin kuat. Warga mendesak pemerintah daerah Subulussalam untuk mengevaluasi total cara kerja Satpol PP serta memberi sanksi kepada Abdul Malik jika terbukti melanggar aturan. Sebab jika institusi penegak perda dibiarkan berlaku semena-mena, maka kepercayaan masyarakat terhadap hukum akan terkikis.

Begitu pula dengan Ramona. Banyak pihak mendorong agar Dewan Pers dan aparat hukum menindaklanjuti dugaan pelanggaran kode etik dan penyebaran hoaks yang dilakukannya. Jika terbukti, Ramona bisa dijerat pidana, sekaligus dicoret dari daftar wartawan yang berhak menjalankan profesi di ruang publik.

“Ini bukan sekadar klarifikasi. Ini sudah masuk ranah hukum. Dia sudah melanggar privasi kami, merusak nama baik, dan memutarbalikkan fakta,” kata Erwin.

Kasus ini menjadi pengingat telak bahwa kebebasan pers tidak boleh dijadikan tameng untuk menyebar kebohongan. Kebebasan itu datang bersama tanggung jawab. Jika wartawan abal-abal dibiarkan beroperasi tanpa pengawasan, maka yang rusak bukan hanya nama orang—tapi juga sistem keadilan.

Belum ada tanggapan dari Ramona maupun Kasatpol PP Abdul Malik terkait pemberitaan ini. Pemilik warung kopi, Suriani Kombih, dan adiknya, Erwin Kombih, telah menyatakan akan menempuh jalur hukum karena merasa dirugikan oleh berita yang ditulis Ramona dan tindakan Satpol PP. Mari kita pantau bersama perkembangan kasus ini dan berharap hukum ditegakkan secara adil, tanpa kompromi terhadap pelanggaran etika maupun kekuasaan yang sewenang-wenang.

Sial betul bagi siapa pun yang menjadikan profesi wartawan sebagai alat menyebar fitnah. Sebab kebenaran, meski dibungkam, tetap akan mencari jalan pulang. Dan ketika warga kecil berani melawan lewat jalur hukum, maka tak ada lagi ruang aman bagi wartawan palsu dan aparat yang menyalahgunakan kekuasaan.

Redaksi:FW−FRNFastResponCounterPolriNusantara–Subulussalam

Berita Terkait

Kebebasan Pers Terancam: Syahbudin Padank Menghadapi Teror dan Ancaman Setiap Hari!
Camat Main Ancaman, Media Ditantang Duel, Dugaan Pungli Dana Desa Kian Terkuak
Mahasiswa Universitas Islam Aceh Laksanakan KPM dan Aksi Peduli Lingkungan di Penanggalan

Berita Terkait

Jumat, 10 Oktober 2025 - 19:40 WIB

PW GPA DKI : Kebijakan Kakorlantas Patut Di Acungi Jempol Berani dan Berhasil Menghapus “Tot Tot Wuk Wuk” di Jalanan

Minggu, 5 Oktober 2025 - 21:58 WIB

Publik Apresiasi kepada Panglima TNI di Momen HUT TNI ke-80 Tahun di Monas

Senin, 15 September 2025 - 01:03 WIB

Komisi III DPR Desak Sanksi untuk Kompol DK

Kamis, 11 September 2025 - 14:03 WIB

Budi Arie Tetap Follow Istagram Prabowo, Kami mengajak semua pihak untuk tidak Terjebak Dalam Polarisasi Sempit dan Narasi Yang Memecah Belah

Selasa, 9 September 2025 - 11:57 WIB

PW GPA DKI: Stop Isu Hoaks yang Menuding Prajurit TNI Sebagai Provokator Aksi Unjuk Rasa

Kamis, 21 Agustus 2025 - 15:48 WIB

Merdeka untuk Sehat, Anak Sekolah Kini Punya Hak Sama atas Akses Kesehatan Gratis

Senin, 18 Agustus 2025 - 12:42 WIB

2. PW GPA DKI JAKARTA : Angkat Topi Pada Kakorlantas Polri Turun Langsung Dalam Pengamanan Lalu Lintas Pada HUT RI

Sabtu, 9 Agustus 2025 - 19:07 WIB

Rutan Kelas I Medan Pamerkan Karya Kreatif Warga Binaan di IPPAFest ke 2 Tahun 2025

Berita Terbaru