Senin, 28 Juli 2025 — Jalan sempit yang melintasi Kecamatan Pantan Cuaca, Kabupaten Gayo Lues, seperti biasa diselimuti kabut tipis dan nyanyian serangga hutan. Namun pemandangan tak biasa muncul di sisi kiri jalan. Tumpukan pipa-pipa hitam, gulungan kabel, dan peralatan proyek dibiarkan teronggok tepat di bawah sebuah papan yang berbunyi tegas: Kawasan Hutan Lindung. Dilarang menebang, merambah, membakar, menduduki, dan menguasai kawasan hutan. Papan itu didirikan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah V Aceh tahun 2019. Tapi kini, keberadaannya seolah hanya menjadi penanda ironi: negara hadir, namun dilangkahi.
Investigasi media ini menemukan bahwa lokasi tersebut adalah bagian dari wilayah eksplorasi tambang emas milik PT Gayo Mineral Resources (GMR). Perusahaan ini sejak beberapa tahun terakhir mengincar perut bumi Gayo Lues untuk ditambang, dengan janji membawa “investasi hijau” dan membuka lapangan kerja. Tapi janji itu tampaknya hanya kata-kata. Yang terlihat di lapangan justru tindakan kasar: memulai aktivitas sebelum memperoleh izin lingkungan yang final dan sah.
Status lokasi jelas: hutan lindung. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan melarang segala bentuk aktivitas tanpa izin khusus, termasuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Tanpa IPPKH, aktivitas sekecil apa pun — termasuk sekadar menaruh alat proyek — merupakan pelanggaran. Dalam konteks pidana kehutanan, itu berarti perusahaan berhadapan dengan ancaman sanksi berat. Namun, berdasarkan penelusuran dokumen publik dan wawancara dengan sumber internal, hingga Juli 2025 tidak ditemukan publikasi resmi bahwa PT GMR telah mengantongi IPPKH dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Bahkan proses AMDAL pun masih menyisakan banyak pertanyaan, terutama soal keterlibatan masyarakat dan transparansi kajian.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih jauh, investigasi ini menemukan indikasi pembiaran dari otoritas lokal. Sejumlah pejabat daerah tampak tutup mata terhadap aktivitas GMR. Bahkan ketika sejumlah aktivis lingkungan mulai menyuarakan kekhawatiran, respons dari Dinas Lingkungan Hidup Gayo Lues dan Balai Besar KSDA Sumatera justru nihil. Mereka memilih diam. Padahal jelas, bukan hanya hukum yang dilanggar, tapi juga amanat rakyat yang dikhianati. Ada sinyal kuat bahwa PT GMR memanfaatkan kekosongan pengawasan di lapangan untuk mengkonsolidasikan kehadirannya. Beberapa laporan menyebutkan bahwa perusahaan telah menyalurkan dana CSR dan menjalin komunikasi intensif dengan beberapa tokoh masyarakat. Semua itu berlangsung tanpa ada kejelasan status legalitas operasi.
Wilayah Pantan Cuaca bukan sekadar titik di peta tambang. Ia adalah bagian dari bentang alam Leuser, rumah bagi harimau, gajah, dan spesies endemik lainnya. Hutan lindung di kawasan ini berfungsi sebagai penyangga hidrologi dan iklim mikro untuk ribuan hektare ladang warga. Setiap alat berat yang masuk tanpa izin, setiap lubang yang digali tanpa studi dampak, adalah tikaman langsung terhadap keseimbangan ekologis. Tak hanya itu. Kegiatan ini juga membuka pintu bagi konflik sosial. Beberapa warga yang mencoba bertanya-tanya soal status proyek justru merasa dikucilkan. Ketika hutan yang menjadi sumber hidup warga mulai berubah menjadi zona industri tertutup, maka yang muncul bukan kemakmuran, melainkan krisis kepercayaan dan ketegangan antar komunitas.
Kasus PT GMR di Pantan Cuaca bukan hanya soal pelanggaran administratif. Ini adalah ujian besar bagi wibawa negara dan komitmen terhadap perlindungan lingkungan. Jika aparat kehutanan, dinas lingkungan hidup, dan KLHK tetap bungkam, maka ini bukan lagi sekadar pelanggaran — ini pengkhianatan terhadap konstitusi. Negara harus segera menyegel lokasi proyek dan menyita seluruh material proyek yang ditaruh dalam kawasan hutan lindung. Mengusut status legalitas PT GMR secara menyeluruh, termasuk kemungkinan pemalsuan izin atau operasi tanpa dasar hukum. Menghentikan seluruh aktivitas tambang emas di Gayo Lues hingga proses AMDAL dan IPPKH benar-benar sah dan transparan. Memanggil dan memeriksa seluruh pejabat daerah yang diduga terlibat dalam pembiaran ini.
Kita tidak boleh membiarkan hutan lindung diubah menjadi proyek tambang demi keuntungan korporasi. Keadilan iklim bukan barang dagangan. Ketika perusahaan seperti PT GMR menginjak hukum, dan negara memilih tutup mata, maka sesungguhnya rakyatlah yang sedang dikorbankan demi laba. Editorial ini berdiri sebagai catatan: bahwa kami menyaksikan, mencatat, dan tidak akan diam. (*)